Hikmahanto Juwana: RI Harus Tiru AS Soal Kedaulatan Industri Kretek Nasional

Warta Ekonomi,quickq加速器苹果版 Jakarta -

Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana menyoroti seruan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar Pemerintah Indonesia segera menerapkan kemasan berstandar polos (plain packaging) bagi seluruh produk tembakau dan nikotin sebelum dilepas ke pasaran.

"Indonesia berada dalam tekanan dari berbagai pihak agar mengadopsi ketentuan-ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ke dalam kebijakan domestik, termasuk melalui regulasi turunan UU 17/2023 tentang Kesehatan, yakni PP 28/2024, dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang salah satunya mengusulkan kebijakan kemasan polos tanpa identitas merek bagi produk rokok," terang Prof. Hikmahanto dihubungi di Jakarta, Senin (02/06/2025).

Hikmahanto Juwana: RI Harus Tiru AS Soal Kedaulatan Industri Kretek Nasional

Hikmahanto Juwana: RI Harus Tiru AS Soal Kedaulatan Industri Kretek Nasional

Prof. Hikmahanto mencontohkan pendekatan berbeda yang dilakukan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang selektif dalam merespons perjanjian internasional. Walaupun ikut aktif dalam pembentukan berbagai konvensi global, AS kerap menolak untuk meratifikasi jika dirasa tidak sejalan dengan kepentingan nasionalnya.

Hikmahanto Juwana: RI Harus Tiru AS Soal Kedaulatan Industri Kretek Nasional

"Indonesia harus seperti Amerika Serikat yang tahu betul apa arti dari suatu kedaulatan. Kalau misalnya kepentingan nasional kita terganggu dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara internasional, kita akan mengatakan kita tidak akan ikut dalam perjanjian tersebut," tegas Prof. Hikmahanto.

Hikmahanto Juwana: RI Harus Tiru AS Soal Kedaulatan Industri Kretek Nasional

Prof. Hikmahanto mengatakan, meskipun FCTC belum pernah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak diperkenalkan pada 2002, pengaruhnya dinilai telah menyusup secara halus ke sistem hukum nasional, sehingga memunculkan kekhawatiran terkait potensi intervensi pihak asing terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia.

"FCTC dianggap sebagai alat tekanan global terhadap negara-negara penghasil tembakau. Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki ekosistem industri tembakau yang besar dan berakar kuat dalam sejarah dan budaya, secara konsisten menolak meratifikasi perjanjian tersebut," ujar Prof. Hikmahanto.

Dikatakan Prof. Hikmahanto, sejak era Presiden RI pak Susilo Bambang Yudhoyono, pak Joko Widodo, pak Prabowo Subianto merupakan presiden yang berani mengambil langkah tegas pemerintah dengan tidak meratifikasi FCTC.

"Kami menyebut keputusan ini sebagai bentuk nyata perlindungan terhadap kedaulatan nasional," kata Prof. Hikmahanto.

Sementara Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin), Faisol Riza, memastikan tidak akan memberlakukan kebijakan penyeragaman kemasan (plain packaging) rokok.

Hal itu untuk melindungi industri rokok yang sudah memberikan sumbangan besar kepada perekonomian Indonesia melalui pajak dan cukai hasil tembakau (CHT).

"Kesepakatan berhasil dicapai usai kami berdiskusi secara langsung dengan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes), Dante Saksono Harbuwono. Jadi, Wamenkes dengan terbuka menerima dan sampai hari ini kita bahas, termasuk misalnya penyeragaman bungkus itu tidak akan terjadi," ungkap Faisol Riza.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengkritisi potensi cacat formil dalam penyusunan PP 28/2024. Jika terbukti kebijakan itu disusun tanpa partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), maka secara hukum peraturan itu bisa dibatalkan.

"Kalau misalnya terbukti PP 28/2024 dibuat tanpa ada partisipasi, ya berarti secara prosedur cacat. Berarti dibatalkan, secara formilnya tidak terpenuhi. Cacat. Itu kita belum bicara substansi loh," ujar Eddy Hiariej.

Ia meminta agar pihak-pihak yang merasa dirugikan dari penerapan aturan tersebut untuk mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA), baik secara materil maupun formil.

"Secara substansi, PP 28/2024 bisa dibatalkan jika terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," sambungnya.

Sementara, Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyatakan, PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.

Menurut Henry Najoan, PP 28/2024 mengadopsi kebijakan asing atau pengalaman negara lain tanpa mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia. Dengan mengadopsi peraturan-peraturan global, sejarah keberadaan budaya lokal kretek terancam hilang.

GAPPRI menyoroti ketentuan di Bagian XXI PP 28/2024 tentang Pengamanan Zat Adiktif Produk Tembakau.

Beberapa pasal yang dianggap mengganggu usaha adalah Pasal 431 yang membatasi nikotin dan tar, Pasal 432 yang melarang bahan tambahan, dan Pasal 435 yang menyeragamkan desain kemasan yang berpotensi membuat pelaku usaha bangkrut.

"Aturan pembatasan nikotin dan tar akan membuat anggota GAPPRI kesulitan menyesuaikan ketentuan tersebut. Petani tembakau juga akan kesulitan memenuhi ketentuan karena rata-rata tembakau lokal bernikotin tinggi. Sementara bahan tambahan di Pasal 432 akan menghilangkan ciri khas produk kretek yang selama ini bahan tambahannya menjadi nilai lebih," terang Henry Najoan.

GAPPRI juga mencatat, kemasan rokok polos berpotensi mendorong downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok yang tidak jelas asal dan produsennya 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09%.

"Situasi industri hasil tembakau legal saat ini memerlukan deregulasi. Pemerintah perlu meninjau ulang atau sinkronisasi peraturan satu dengan lainnya sehingga memberikan rasa keadilan demi cita-cita kemandirian ekonomi nasional," pungkas Henry Najoan.